25 September 2015

SUBANG PERLU CITY BRANDING





Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Social Engineer
Pasundan Ekspres, 26 September 2015 


Ini adalah persoalan bagaimana mengemas identitas sebuah kota atau kabupaten. Seperti yang dikemukakan dalam hasil penelitian oleh Efe Sevin (2014)  bahwa place branding atau city branding merupakan sebuah jaringan sosial dan komunikasi semantik sekaligus yang mengeksplorasi hubungan antara kota, orang-orang dan pesan yang ingin disampaikan. Identitas semacam ini penting karena secara tidak langsung akan mendorong pemilik identitas (warga) untuk mengidentifikasikan bagaimana ia harus berpikir, bersikap, berperilaku hingga ke alam bawah sadarnya. Sebagai contoh jika seseorang tinggal di sebuah kota yang berlabel kota santri, maka tindak tanduknya, cara berpakaian, adat kebiasaannya akan menyesuaikan dengan nilai dan norma ideal layaknya seorang santri. Atau misalnya penduduk di Pulau Dewata Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia, maka ia akan mengidentifikasikan dirinya juga sebagai warga global yang siap berjumpa dengan wisatawan dari seluruh belahan dunia. Tidak perlu jauh-jauh, Bandung misalnya yang terkenal sebagai Paris van Java, tentu spirit sebagai trend center dunia fashion, hiburan, kuliner dan wisata belanja lainnya terasa kental di segenap jantung kota Bandung. Orang pun tahu dan sadar apa saja yang akan dilakukannya ketika berkunjung ke kota Bandung. What to see, what to do and what to buy? Komplit.


Pun sebaliknya, ketika sebuah kota dikemas sebagai kota judi dan prostitusi, bisa dibayangkan tentu perilaku warga dan para pendatangnya tak akan jauh dari dunia itu. Ambil contoh yang paling sering kita tonton di film-film seperti Las Vegas di Amerika atau Macau. Sebuah kota yang sengaja dicitrakan sebagai “surga dunia”. Surabaya dulu mendunia salah satunya juga karena ada Dolly, lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Tapi kini di tangan Walikota Tri Rismaharini, Dolly ditutup dan Surabaya dikemas ulang dengan menyulap banyak sudut-sudut kota menjadi ruang terbuka hijau yang indah dan nyaman. Sungai-sungai dibersihkan. Surabaya menjadi kota metropolitan yang jauh lebih indah, bersih dan nyaman. Ia berbenah dan pelan tapi pasti berusaha menghapus jejak sebagai kota prostitusi. Itulah kenapa city branding itu penting, bahkan teramat penting untuk dilupakan oleh para pemimpin.

Lalu, bagaimana dengan Subang? Ingin dikenal sebagai apa kabupaten Subang? Sementara ini banyak pendatang dan orang luar subang mengenal Subang sebagai kota nanas. Simadu, salah satu jenis nanas yang berhasil mengatrol diferensiasi nanas khas subang. Kita juga sudah memiliki icon patung nanas di pertigaan Kecamatan Jalan Cagak yang baru saja direnovasi. Apakah itu saja cukup untuk sebuah city branding? tentu tidak. Perlu dicatat bahwa Kabupaten Subang memiliki potensi yang membentang dari Pesisir Utara sampai dengan sebagian Gunung Tangkuban Perahu di selatan. Jika dikemas sebagai ATM (Agro, Tourism & Marine) maka nanas hanya sebagian kecil saja dari potensi hebat tersebut. Bahkan di pesisir utara - dengan Pamanukan sebagai jantung ekonominya - akan segera terwujud Pelabuhan Nusantara yang mungkin akan mengubah setting dan perwajahan Kabupaten Subang dalam sepuluh tahun ke depan. Kita juga dilalui Tol Cipali yang membelah Kabupaten Subang dari Barat ke Timur.

Apakah branding kabupaten Subang akan dibiarkan mengalir begitu saja tanpa sedikit pun rekayasa sosial yang diciptakan? Boleh saja, tapi jangan menyesal jika kelak pada akhirnya Subang hanya menjadi sebuah kota yang sering dilewati, tapi jarang disinggahi. Jangan salahkan siapa pun jika tetiba Subang menjadi kota industri yang dihiasi dengan keruwetan, kepengapan, kepadatan dan kemacetan di setiap sudutnya. Karena sebuah kota yang tak memiliki identitas ibarat bayi tumbuh tanpa cita-cita, tak tahu harus berjalan kemana?

Profil Wisatawan

Untuk menyusun sebuah city branding, Pemerintah tidak bisa membuat semaunya sendiri. Sebab, city branding ini harus sebesar-besarnya menjadi milik warga.. Ia harus mampu mengkompilasi aspek historis, filosofis, sosiologis dan ekonomis sekaligus dalam satu paket. Harus menjual namun tak melupakan akar sejarahnya. Harus dimengerti oleh orang luar sekaligus bisa dibanggakan oleh orang dalam. Kalau tidak, ia akan gagal dikampanyekan Contohnya Surakarta atau Solo ketika menyusun city branding-nya sebagai “the spirit of Java” atau Purwakarta ketika slogan sebagai kota budaya demikian kuat dilekatkan dalam berbagai ikon dan event atau festival yang dihelat sangat massif. Strategi yang ditempuh bisa saja dari atas dengan profil bupati atau walikota yang melekatkan branding tersebut pada diri dan kebijakannya. Atau bisa juga dengan partisipasi terbuka warga untuk menyusunnya, misalnya dengan perlombaan logo city branding, penyusunan naskah akademik oleh perguruan tinggi lokal, dan event-event lainnya untuk menjaring aspirasi warga.

Dalam menyusun city branding tentu tidak boleh lepas dari kepentingan stake holder pariwisata. Sebab mereka yang akan berada di baris paling depan untuk mensosialisasikannya. Data profil wisatawan yang ada saat ini mutlak diperlukan. Siapakah gerangan para wisatawan yang berkunjung atau menginap di Subang? Darimana asalnya? Apa tujuan utamanya? Kemana? Apa saja yang mereka cari? Dimana pusat-pusat kunjungan dan titik potensial yang mungkin berkembang? Berapa kapasitas kamar untuk menampung secara ideal? Bagaimana membuat mereka bermalam dan membelanjakan lebih banyak uang? Dan seterusnya. Profil wisatawan ini sangat penting untuk disajikan sebagai basis penentuan prioritas pengembangan turisme sebagai hilir atau pasar dari produk-produk agro dan marine yang akan dikembangkan sebagai produk unggulan di Kabupaten Subang. Beras Subang, misalnya. Tanpa city branding maka tidak akan teirdentifikasi dan terencana dengan baik rantai pasok bahan baku, proses, pengemasan hingga pemasaran sebuah produk lokal, utamanya produk-produk UMKM. Dengan demikian, city branding pada akhirnya menjadi pengungkit utama bagi tumbuh kembangnya produk unggulan daerah itu sendiri.

Sebagai penutup provokasi ini, ada tiga peribahasa atau falsafah hidup masyarakat Sunda yang telah ada saat ini dan dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan city branding, pertama, pindah cai pindah tampian. Artinya dengan city branding kita ingin para pendatang dari mana pun bisa menghormati dan menyesuaikan diri dengan norma dan nilai yang berlaku pada masyarakat Subang. Jangan sampai kehadiran mereka justru merusak tata nilai tersebut. Kedua, someah hade ka semah. Artinya, kita ingin warga subang tetap menjadi entitas yang terbuka, menerima berbagai perbedaan, toleran dan ramah terhadap para tamu di tanah Subang. Ketiga, jati ulah kasilih ku junti. Artinya, dengan city branding yang tepat kita ingin Subang tetap bisa tumbuh maju secara fisik dan ekonomi tanpa kehilangan jati diri, akar sejarah dan budayanya sendiri. Mari kita dorong pemerintah untuk memulai, kalau tidak sekarang, kapan lagi?

No comments:

Post a Comment